Minggu, 06 November 2016

SULITNYA JADI GURU HONORER


Ketika semua berfikir bahwa jadi guru itu menyenangkan, membanggakan dan terjamin. Mungkin saja iya, tapi untuk kata yang terakhir. Saya kurang setuju, karena terjamin itu hanya untuk PNS. Bagi kita guru honorer, harus banyak bersabar lagi. Ditambah lagi kita sebagai guru honorer dipersulit untuk mengatur siswa. Karena kebanyakan disekolah-sekolah swasta masih membutuhkan siswa. Jadi untuk memberi tindakan seperti pada sekolah negeri, kita sebagai guru honorer disekolah swasta, masih berfikir beberapa kali.

Belum lagi mengenai SDM dari para siswa yang masuk di sekolah swasta, rata-rata hampir dibawah SDM siswa yang masuk di sekolah negeri. Meskipun ada beberapa anak yang memiliki SDM cukup baik. Tapi oleh karenanya, kita sebagai guru honorer disekolah swasta merasa tertantang untuk mendidik siswa yang SDM nya tidak terlalu bagus, agar menjadi anak dengan SDM yang baik.

Kembali pada kata "terjamin" tadi, keterjaminan kita sebagai guru honorer disekolah swasta, jauh dibandingkan dengan guru honorer disekolah negeri, apalagi jika dibandingkan dengan guru PNS. Mungkin kata terjamin masih terlalu berlebihan jika digunakan untuk guru honorer, kususnya disekolah swasta. Bahakan, kata tercukupi pun masih kurang tepat.

Jika berbicara beban mengajarpun, kita sebagai guru honorer bisa dikatakan hampir sama dengan guru PNS, cuma beda di nasib saja. Jadi kita sebagai guru honorer disekolah swasta hanya bisa berharap agar tercukupi dari pemasukan non guru. Bahkan kita juga jangan terlalu berharap pada pemerintah, yang katanya akan serius dalam mensejahtrakan para guru honorer.

Baca juga:PAHLAWAN TANPA JASA YANG TERPINGGIRKAN (GURU HONORER SWASTA)

Adakalanya memang orang menilai bahwa percuma saja menjadi guru karena tidak dapat menopang kehidupannya yang saat ini kebutuhan dapat dikatakan mahal. Misalnya, dengan gaji Rp 300.000 hanya dapat digunakan selama 30 hari jika dihitung perhari dia hanya dibayar Rp 10.000. Sedangkan kebutuhan dalam sehari saja uang tersebut hanya dapat dipakai untuk membeli beras 1 kg. Lalu, bagaimana dia membeli sayuran, buah-buahan, daging, atau susu? Jawabannya pastilah it’s impossible.

Namun kenapa ia mau melakukannya? Ternyata jawabannya adalah karena menjadi guru menjadi sebuah pilihan. Entah pilihan apa? Apa karena sudah sekian lama mendaftar ternyata namanya sama sekali tidak masuk seleksi CPNS? Atau panggilan jiwa? Setelah beberapa kali kutanya ternyata jawabannya adalah karena sulitnya mencari pekerjaan meskipun lulusan perguruan tinggi. Sekaligus ingin menyampaikan ilmu pengetahuan yang tentu saja ini adalah alasan yang benar-benar panggilan jiwa.

Ilustrasi di atas menggambarkan betapa banyak orang yang memutuskan untuk menjadi guru honorer dengan alasan karena sulitnya mencari pekerjaan dan kecilnya kesempatan memperoleh penghasilan yang layak meskipun ia merupakan sarjana lulusan perguruan tinggi negeri. Akan tetapi apakah hanya berlandaskan tujuan inikah seseorang mau berkorban waktu dan tenaga demi sebuah impian “PNS” yang kata orang pekerjaan yang menjanjikan? Meskipun pemerintah mengultimatum bahwa tidak seluruh honorer akan diangkat menjadi pegawai negeri.

Sebagai seorang guru, mendidik semestinya adalah panggilan jiwa, semangat mengabdi dan keingin untuk mengamalkan ilmu bukan semata-mata hanya mengharapkan gaji besar tanpa diimbangi sikap nrimo ing pandum dengan gaji yang tak cukup dipakai untuk sebulan. Sungguh tragis memang, dengan berbekal ijazah sarjana ternyata tidak menjamin seseorang dapat menikmati hidup yang layak. Dan inipun tidak hanya berlaku bagi sarjana pendidikan saja akan tetapi semua sarjana dengan jurusan yang berbeda.

Sungguh ironi memang, saat orang-orang bisa menikmati penghasilan dengan layak, dengan mobil mewah dan penghidupan yang serba glamor ternyata masih ada saja masyarakat yang tidak memperoleh penghidupan yang jauh dari kata layak. Apalagi pemerintah mengultimatum bahwa tidak semua tenaga honorer dapat diangkat menjadi pegawai negeri. Lalu bagaimana dengan nasip guru honorer yang selama ini sudah ikhlas mengabdi dan membantu pemerintah mencetak generasi-generasi yang mandiri?
 
Maka tidaklah berlebihan jika "pahlawan tanpa tanda jasa" kita berikan kepada para guru honorer yang telah dengan ikhlas mendidik para generasi penerus bangsa agar menjadi generasi yang lebih baik.

SELAMAT BERJUANG PARA PAHLAWAN TANPA TANDA JASA (Guru Honorer).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar