Bapak rumah tangga adalah ayah yang tidak bekerja melainkan merawat dan membesarkan anak. Di Indonesia, tokoh terkenal yang menjadi ayah rumah tangga Dhohir Farisi istri Yenny Wahid anak dari Gus Dur
Di
indonesia, pekerjaan bapak rumah tangga masih jarang di temukan di kota besar
maupun perkampungan. Ini sebabkan oleh budaya dan norma masyarakat yang berlaku
di Indonesia. Banyak alasan di temukanya bapak rumah tangga pekerjaan menjadi
salah satu alasan. Kehidupan sebagai bapak rumah tangga nyaris tidak ada
bedanya dengan ibu rumah tangga.
Sebutan
ayah rumah tangga atau bapak rumah tangga memang belum lazim di Indonesia, juga
di negara-negara Asia, yang masih kental kultur patriarkatnya. Tak heran, bila
ada pria yang mau melakoni peran ini, pasti dianggap nyeleneh, karena
keluar dari tatanan tradisi yang umum.
Selama ini, tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus anak, memasak, mencuci pakaian, dan berbelanja identik sebagai tugas seorang ibu. Sedangkan ayah, bertanggung jawab untuk mencari nafkah ke luar rumah. Tradisi yang kuat melekat dalam masyarakat kita ini kian dipertegas dalam ketentuan di buku nikah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI. Tertulis jelas di sana, salah satu kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Memang, tertulis juga bahwa salah satu kewajiban suami adalah membantu tugas istri dalam mengatur urusan rumah tangga. Namun, pada praktiknya urusan rumah tangga lebih banyak diemban oleh istri.
Selama ini, tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus anak, memasak, mencuci pakaian, dan berbelanja identik sebagai tugas seorang ibu. Sedangkan ayah, bertanggung jawab untuk mencari nafkah ke luar rumah. Tradisi yang kuat melekat dalam masyarakat kita ini kian dipertegas dalam ketentuan di buku nikah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI. Tertulis jelas di sana, salah satu kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Memang, tertulis juga bahwa salah satu kewajiban suami adalah membantu tugas istri dalam mengatur urusan rumah tangga. Namun, pada praktiknya urusan rumah tangga lebih banyak diemban oleh istri.
Secara
umum, sejauh ini pembagian tugas rumah tangga secara fair antara suami-istri
memang belum menjadi isu utama di keluarga-keluarga masyarakat kita. Tak
mengherankan, ketika harus dihadapkan dengan problem klasik, seperti tidak ada
support system dalam keluarga yang suami-istri bekerja, tidak ada keluarga yang
bisa dititipi anak, dan tidak ada ART yang bisa diandalkan, maka istri yang
lebih banyak mengundurkan diri. Meski, katakanlah, karier si istri sebetulnya
lebih cemerlang.
Survei
dilakukan femina dan McKinsey pada April 2012 terhadap 500 wanita dari seluruh
Indonesia usia 30-50 tahun dengan posisi junior manager sampai CEO.
Hasilnya, makin tinggi posisi struktural, persentase wanita karier makin
mengecil. Dari 49 persen masuk dalam entry level, ketika masuk ke middle
management yang bertahan hanya 20 persen, dan makin ke atas, pada level
CEO hanya ada 5 persen saja. Mengapa mereka berguguran? Hasil riset mengungkap
bahwa 72 wanita memilih meninggalkan karier dengan alasan keluarga.
Yang meminta para wanita ini keluar tidak hanya suami, tetapi juga keluarga besar dari kedua belah pihak. Dan, yang tak kalah powerful adalah ‘tuntutan’ dari masyarakat secara umum. Contoh sederhana, bila suami-istri bertahan tetap berkarier di luar rumah, dan ternyata terjadi sesuatu pada anak-anak, maka pertanyaan yang terlontar adalah:
“Ke
mana, sih, ibunya?” Lalu, perasaan bersalah pun muncul karena merasa tidak
menjadi ibu yang baik. Selanjutnya, dengan penuh kesadaran, para wanita ini
akan mengundurkan diri dari dunia kerja dan mengambil peran domestik dengan
sepenuh hati.
Ratih
Ibrahim, psikolog yang banyak menangani persoalan rumah tangga, melihat,
belakangan ada sebuah fenomena baru di masyarakat urban.
Yaitu,
keberanian pasangan-pasangan muda kelas menengah perkotaan yang berani
mendobrak tradisi ini. Bapak rumah tangga pun menjadi ‘profesi’ yang tak kalah membanggakan.
Menurut Ratih Ibrahim, psikolog, konsep parenting modern yang diadaptasi dari Barat yang mulai dijalankan pasangan-pasangan kelas menangah urban ikut serta membentuk fenomena ini. Ketika mereka harus menghadapi kenyataan sulit mendapatkan bantuan dari keluarga besar untuk menjaga anak-anak dan kesulitan mendapatkan pangasuh anak yang bisa dipercaya. “Bisa dibilang, kesetaraan gender pada pasangan muda ini mulai diwujudkan melalui kerelaan pria dalam berbagi peran domestik,” tutur Ratih.
Menurut Ratih Ibrahim, psikolog, konsep parenting modern yang diadaptasi dari Barat yang mulai dijalankan pasangan-pasangan kelas menangah urban ikut serta membentuk fenomena ini. Ketika mereka harus menghadapi kenyataan sulit mendapatkan bantuan dari keluarga besar untuk menjaga anak-anak dan kesulitan mendapatkan pangasuh anak yang bisa dipercaya. “Bisa dibilang, kesetaraan gender pada pasangan muda ini mulai diwujudkan melalui kerelaan pria dalam berbagi peran domestik,” tutur Ratih.
Menariknya,
hal itu merupakan pilihan mereka, bukan karena keadaan yang tak bisa dihindari
sehingga merasa terpaksa. Para ibu bisa bebas berkarier di luar rumah,
tanpa harus dibebani rasa bersalah dan sederet urusan domestik, karena suami
siap untuk mengambil alih peran itu.
“Pasangan
muda sekarang tidak gampang menyerah bila menghadapi masalah. Sulit mencari
asisten rumah tangga ataupun babysitter yang dipercaya? Mereka cari solusi.
Antara lain, melakukan semacam restrukturisasi, agar segalanya lebih efisien,”
kata Ratih. Mereka pun berbagi peran dengan fair. Bila si istri lebih cocok
bekerja penuh waktu dan memiliki prospek karier cemerlang, mengapa tidak maju
terus?
Kehidupan telah banyak berubah,
kebiasaan telah berganti dan tatanan mulai bergeser, kalau dulu pemimpin rumah
tangga: istri dan anak-anak adalah suami atau bapak, termasuk apa yang menjadi
tuntutannya berupa tanggung jawab memberi nafkah, ini berarti bahwa suami atau
bapak yang bekerja, di saat yang sama istri atau ibu sebagai penyeimbang dan
pengisi kekosongan lahan yang ditinggalkan oleh suami atau bapak, mengurusi
rumah dan anak-anak, maka dia disebut dengan ibu rumah tangga.
Tetapi
itu dulu, saat kehidupan zaman ini mulai bergeser akibat dominasi adat dan
pengaruh bangsa lain, saat peluang mendapatkan pekerjaan di luar rumah mulai
dibuka untuk kaum hawa, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tersedot magnet
mendapatkan gaji sendiri sehingga tidak meminta dan bergantung kepada suami,
resikonya pos aslinya yaitu dalam negeri rumah tangga kosong karena ditinggal
oleh sang penunggunya.
Dunia
kerja semakin membuka peluang lebar-lebar bagi kaum wanita, kesempatan berkarir
bagi mereka semakin memungkinkan, di pos-pos penting duduk kaum perempuan
dengan kewenangan dan tanggung jawab yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki,
hal ini menyeret kepada kesetaraan antara suami dan istri dalam hal
penghasilan, dan selanjutnya istri pun bisa karena dorongan sendiri atau dari
suami, ikut memikul tanggung jawab finansial keluarga, ini artinya suami telah
memberikan sepenggal dari kue kepemimpinannya dalam rumah tangga kepada istri
atau istri yang mengambilnya dari tangan suami, lumrah memang, karena pemikul
tanggung jawab memiliki wewenang sebesar tanggung jawab tersebut.
Perkaranya
tidak berhenti sampai di sini, dunia kerja terus berkembang dan membuka
kesempatan bagi kaum hawa lebih lebar, akibatnya tidak tertutup kemungkinan
sekalipun sama-sama berkerja, kedudukan, karier dan tentu saja penghasilan
istri lebih besar dari suami, bila hal ini tidak berdampak terhadap hubungan
dan kedudukan masing-masing dalam rumah tangga, maka mudah-mudahan tidak memicu
konflik sehingga rumah tangga aman-aman saja, namun yang sering terjadi adalah
saat uang istri lebih banyak, maka dia pun mulai mendominasi, biasa uang memang
berkuasa, maka suami tergeser dari kursi qiwamah, atau dia tahu diri
sehingga mundur dan menyerahkan kebanyakan darinya kepada istri, kalaupun suami
tetap menjadi pimpinan, maka biasanya hanya sekedar formalitas saja.
Lebih
parah lagi manakala yang berpenghasilan adalah istri, sedangkan suami nganggur
alias tidak bekerja, dan betapa banyak rumah tangga seperti ini di zaman ini,
akibatnya kepemimpinan mutlak dipegang oleh istri sebagai penafkah keluarga
berikut segala hal yang menjadi buntutnya, akhirnya suami hanya berposisi
sebagai seksi sibuk di belakang, mengurusi rumah tangga dan hal-hal yang
berkaitan dengannya, maka lahirlah sebuah nama untuknya sebagaimana dalam judul
tulisan ini. Sebuah keadaan rumah tangga yang tidak diharapkan karena ia jauh
dari titik ideal, namun bagaimana bila kedua belah pihak merasa nyaman dengan
peran terbalik seperti itu? Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar