Minggu, 18 Desember 2016

AYAH, Dengarkanlah...!!! (Bagian Pertama)


Ayah…,
Dengarkanlah!

Di antara hal yang tidak diragukan lagi karena memang terjadi adalah bahwa setiap ayah mendambakan anak sebagai buah hati bisa sukses dan berhasil dalam pendidikan dan sekolahnya serta kehidupannya. Karenanya, ayah senantiasa berdo'a kepada Allah agar memberikan kemudahan dan keteguhan bagi anak tercinta. Ayah menjanjikan hadiah dan mengabulkan keinginan si buah hati jika lulus dalam ujian dan memberikan ancaman serta marah jika sampai gagal dalam ujian. Perasaan seperti ini memang merupakan fitrah manusia dan memang terjadi di antara kita.

Akan tetapi wahai Ayah yang penyayang, apakah perhatianmu kepada si buah hati berupa perhatian penuh terhadap sekolah, pendidikan, masa depan dan urusan dunianya itu karena memang engkau sadar itu adalah kewajibanmu, sama seperti perhatianmu terhadap akhirat mereka? Apakah engkau benar-benar memikirkan dan mengkhawatirkan nasib mereka setelah mati seperti halnya perhatianmu akan kenyamanan dan kebahagiaan hidup mereka sewaktu di dunia? Inilah tanggung jawabmu wahai Ayah. Engkau curahkan semuanya untuk dunia yang fana, sementara engkau abaikan akhirat yang kekal selamanya. Engkau sibuk memikirkan kehidupan mereka tapi engkau lupakan keadaan setelah matinya. Engkau bangun bagi mereka rumah dari tanah, batu dan bata di dunia, tapi engkau haramkan mereka untuk mendapatkan rumah di akhirat yang indah bertatahkan intan permata.

Itulah keinginanmu! Itulah angan-anganmu! Semuanya tidak lebih dari agar anak-anakmu bisa jadi dokter, insinyur, pilot ataupun tentara. Ya Allah! Semuanya itu hanya cita-cita dunia…..! Engkau berusaha, bekerja membanting tulang dan bersungguh-sungguh hanya untuk dunianya… Mana usahamu untuk akhiratnya wahai Ayah……? Fenomena ini bukanlah sesuatu yang jarang terjadi, bahkan mayoritas manusia demikian adanya. Mereka begitu serius berusaha mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendidikan fisik anak-anaknya. Tetapi mereka menelantarkan pendidikan hatinya yang padahal dengannyalah anak-anaknya bisa hidup dan bahagia atau sebaliknya binasa dan sengsara. Inilah kenyataan!

Ayah! Mungkin engkau mengira bahwa ini hanyalah perkataan yang tiada beralasan. Tapi jika engkau ingin bukti maka simaklah wahai Ayah yang penyayang!

Bayangkan atau anggap anakmu terlambat mengikuti ujian di sekolahnya. Apakah yang engkau rasakan wahai Ayah? Bukankah engkau akan berlomba dengan waktu mengantarkan anakmu agar bisa mengikuti ujian meskipun terlambat? Bahkan sebelumnya, bukankah engkau akan rela untuk tidur setengah mata agar bisa membangunkan si buah hati supaya tidak terlambat? Bukankah engkau akan melakukan segalanya agar anak tercinta yang menjadi kebanggaanmu bisa ikut ujian tepat waktu? Saya yakin jawabannya adalah Ya. Bukankah engkau melakukan semua itu wahai Ayah? Akuilah!!

Sekarang, apakah perasaanmu itu sama atau akan muncul juga ketika anakmu terlambat shalat Shubuh? Apakah engkau akan berusaha agar anakmu shalat Shubuh tepat waktu? Saya hanya berprasangka baik bahwa engkau memang shalat Shubuh tepat waktu. Karena jika tidak, bagaimana mungkin engkau akan membangunkan anak-anakmu sementara engkau sendiri terlambat untuk itu? Kemudian, bukankah engkau setiap hari senantiasa bertanya kepada anakmu tentang sekolahnya? Apa yang dipelajari, apa yang dilakukan, jawaban apa yang diberikan ketika ujian dan berharap jawaban itu benar? Tetapi, apakah setiap hari engkau bertanya juga tentang urusan agamanya? Apakah engkau bertanya sudahkah dia shalat? Dengan siapa dia duduk dan bergaul? Tidakkah engkau bertanya apa yang dia lakukan ketika tidak di rumah, ta'at atau maksiat?

Ayah, bukankah dadamu terasa sesak ketika tahu bahwa si buah hati salah dalam menjawab ujian? Bukankah engkau merasa terhimpit ketika tahu bahwa nilainya jauh di bawah sempurna bahkan rata-rata? Bukankah engkau merasa terpukul ketika tahu bahwa dia gagal dalam ujiannya? Akan tetapi, apakah dadamu juga terasa sesak, dadamu juga terasa terhimpit ketika tahu bahwa anakmu sangat minim dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya terlebih sunah-sunahnya? Tidakkah ini cukup menjadi bukti bahwa engkau lebih dan hanya memperhatikan dunianya dan mengabaikan akhiratnya?

Ayah, engkau mengira apabila anakmu tidak lulus ujian berarti kandas sudah cita-cita dan harapan yang ada. Engkau menyangka bahwa dalam hal itu tidak ada kesempata kedua terlebih ketiga. Ketahuilah wahai Ayah…, bahwa kegagalan yang hakiki…, kegagalan yang memang tidak ada lagi kesempatan kedua atau ketiga untuk memperbaiki, adalah masuknya mereka ke dalam neraka dengan api yang panas menyala-nyala. Tahukah engkau bahwa kegagalan yang hakiki adalah penyesalan dan kerugian yang disertai adzab yang pedih lagi menghinakan? Setelah ini akankah engkau masih beralasan bahwa kita sekarang hidup di dunia sehinga harus fokus memikirkannya? Kalau begitu kapankah engkau akan fokus memikirkan akhirat padahal di akhirat nanti tidak ada lagi amalan yang ada hanyalah pembalasan?

Sungguh wahai Ayah jikalau demikian adanya kita berlindung kepada Allah darinya maka tidaklah bermanfaat kesuksesan yang diraih di dunia. Tidaklah bermanfaat ijazah, harta, istana yang megah, kedudukan dan kekuasaan kalau ternyata catatan amal perbuatan diberikan dari arah kirinya. Kemudian mereka akan berteriak:
 

Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-sekali tidak memberikan manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaannku dariku. (Al-Haqqah: 25-29)

Ah…sungguh tidak bermanfaat kekuasaanku, ilmu duniaku, serta ijazahku. Semuanya telah hilang, semuanya lenyap… yang ada hanyalah kerugian dan kegagalan.

Tahukah engkau apakah kerugian itu? Tahukah engkau apakah kegagalan itu? Ya, di dunia kerugian dan kegagalan itu adalah jika anakmu tidak bisa menjadi dokter, atau insinyur atau pilot dan guru. Akan tetapi di akherat, yang ada hanyalah kebahagiaan atau kesengsaraan. Yang satu berarti surga yang lainnya berarti neraka. Akankah engkau rela membiarkan mereka mengalami kerugian dan kegagalan dalam arti kesengsaraan di dalam neraka?

Saya tidak katakan tinggalkan anak-anakmu! Saya tidak katakan biarkan mereka jangan diajari masalah dunia! Tidak, demi Allah, saya tidak katakan demikian. Saya hanya katakan bahwa akherat lebih utama dan ditekankan untuk diperhatikan, lebih serius untuk diusahakan dan lebih bersunguh-sungguh untuk beramal meraih kebahagiaannya.
 

Wahai Ayah…! Siapakah di antaramu yang begitu bersemangat bersungguh-sungguh mendatangkan seorang pendidik untuk mengajarkan kepada anaknya Al-Qur'an dan menerangkan As-Sunnah? Sungguh sedikit sekali yang telah berbuat demikian. Alangkah baik kiranya kalau mereka tidak memfasilitasi anak-anaknya dengan sarana kerusakan. Akan tetapi kita lihat justru mereka dengan jeleknya pemikiran dan kurangnya perhitungan malah mendatangkan kejelekan bagi anak-anaknya dengan memfasilitasi dengan kendaraan-kendaraan, sopir pribadi, pembantu (pelayan) serta memenuhi rumahnya dengan barang-barang dan hal-hal yang diharamkan yang melalaikan dari dzikrullah dan ta'at kepada-Nya.

Siapakah di antara kalian wahai Ayah yang memberikan hadiah pada anaknya apabila hafal satu juz dari Al-Qur'anul Karim atau beberapa hadits dari hadits Nabi saw? Sungguh sangat sedikit sekali yang demikian ini. Kita mohon kepada Allah agar memberkahi yang sedikit ini. Kita lihat sebagian manusia, mereka menjanjikan pada anaknya apabila lulus ujian akan diajak pesiar menyusuri pantai yang indah atau wisata ke mancanegara, apakah Eropa atau Amerika, serta mereka menjanjikan dibelikan mobil agar bebas mengukur jalan. Namun adakah di antara meraka yang menjanjikannya untuk diajak umrah atau haji dan mengunjungi masjid Nabi saw?

Setelah semua itu, tahukah engkau wahai Ayah apakah buah dari hasil pendidikan seperti itu? Tahukah engkau apakah hasil dari pendidikan yang mengabaikan masalah akhirat tersebut? Hasilnya adalah Al-Qur'an berganti menjadi majalah, siwak berganti menjadi rokok dan lebih parah lagi mereka akan hidup tidak ubahnya binatang ternak. Tahukah engkau apa di antara yang membedakan kita dari binatang ternak? Kita diberikan fasilitas untuk mengerti bahwa dunia hanyalah sementara. Kita mengetahui bahwa ada kehidupan yang kekal selamanya. Maka selayaknyalah kita untuk berusaha menggapai kebahagiaan di sana. Tetapi apabila tidak demikian maka tidaklah beda dengan binatang bahkan lebih sesat karena kita diberi fasilitas sedangkan mereka tidak. Mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai. (Al-A'raf: 179)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar