Keluarga

Rabu, 16 November 2016

BAPAK RUMAH TANGGA



Bapak rumah tangga adalah ayah yang tidak bekerja melainkan merawat dan membesarkan anak. Di Indonesia, tokoh terkenal yang menjadi ayah rumah tangga Dhohir Farisi istri Yenny Wahid anak dari Gus Dur

Di indonesia, pekerjaan bapak rumah tangga masih jarang di temukan di kota besar maupun perkampungan. Ini sebabkan oleh budaya dan norma masyarakat yang berlaku di Indonesia. Banyak alasan di temukanya bapak rumah tangga pekerjaan menjadi salah satu alasan. Kehidupan sebagai bapak rumah tangga nyaris tidak ada bedanya dengan ibu rumah tangga.

Sebutan ayah rumah tangga atau bapak rumah tangga memang belum lazim di Indonesia, juga di negara-negara Asia, yang masih kental kultur patriarkatnya. Tak heran, bila ada pria yang mau melakoni peran ini, pasti dianggap nyeleneh, karena  keluar dari tatanan tradisi yang umum.

Selama ini, tinggal di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, seperti mengurus anak, memasak, mencuci pakaian, dan berbelanja identik sebagai tugas seorang ibu. Sedangkan ayah, bertanggung jawab untuk mencari nafkah ke luar rumah. Tradisi yang kuat melekat dalam masyarakat kita ini kian dipertegas dalam ketentuan di buku nikah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI. Tertulis jelas di sana, salah satu kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Memang, tertulis juga bahwa salah satu kewajiban suami adalah membantu tugas istri dalam mengatur urusan rumah tangga. Namun, pada praktiknya urusan rumah tangga lebih banyak diemban oleh istri.

Secara umum, sejauh ini pembagian tugas rumah tangga secara fair antara suami-istri memang belum menjadi isu utama di keluarga-keluarga masyarakat kita. Tak mengherankan, ketika harus dihadapkan dengan problem klasik, seperti tidak ada support system dalam keluarga yang suami-istri bekerja, tidak ada keluarga yang bisa dititipi anak, dan tidak ada ART yang bisa diandalkan, maka istri yang lebih banyak mengundurkan diri. Meski, katakanlah, karier si istri sebetulnya lebih cemerlang.

Survei   dilakukan femina dan McKinsey pada April 2012 terhadap 500 wanita dari seluruh Indonesia usia 30-50 tahun dengan posisi junior manager sampai CEO. Hasilnya,  makin tinggi posisi struktural, persentase wanita karier makin mengecil. Dari 49 persen masuk dalam entry level, ketika masuk ke middle management yang bertahan hanya 20 persen, dan  makin ke atas, pada level CEO hanya ada 5 persen saja. Mengapa mereka berguguran? Hasil riset mengungkap bahwa 72 wanita memilih meninggalkan karier dengan alasan keluarga.

Yang meminta para wanita ini keluar tidak hanya suami, tetapi juga keluarga besar dari kedua belah pihak. Dan, yang tak kalah powerful adalah ‘tuntutan’ dari masyarakat secara umum. Contoh sederhana, bila suami-istri bertahan tetap berkarier di luar rumah, dan ternyata terjadi sesuatu pada anak-anak, maka pertanyaan yang terlontar adalah:

“Ke mana, sih, ibunya?” Lalu, perasaan bersalah pun muncul karena merasa tidak menjadi ibu yang baik. Selanjutnya, dengan penuh kesadaran, para wanita ini akan mengundurkan diri dari dunia kerja dan mengambil peran domestik dengan sepenuh hati.

Ratih Ibrahim, psikolog yang banyak menangani persoalan rumah tangga, melihat, belakangan ada sebuah fenomena baru di masyarakat urban.

Yaitu, keberanian pasangan-pasangan muda kelas menengah perkotaan yang berani mendobrak tradisi ini. Bapak rumah tangga pun menjadi ‘profesi’ yang tak kalah membanggakan.

Menurut Ratih Ibrahim, psikolog, konsep parenting modern yang diadaptasi dari Barat yang mulai dijalankan pasangan-pasangan kelas menangah urban ikut serta membentuk fenomena ini. Ketika mereka harus menghadapi kenyataan sulit mendapatkan bantuan dari keluarga besar untuk menjaga anak-anak dan kesulitan mendapatkan pangasuh anak yang bisa dipercaya. “Bisa dibilang, kesetaraan gender pada pasangan muda ini  mulai diwujudkan melalui kerelaan pria dalam berbagi peran domestik,” tutur Ratih.

Menariknya, hal itu merupakan pilihan mereka, bukan karena keadaan yang tak bisa dihindari sehingga merasa terpaksa. Para ibu  bisa bebas berkarier di luar rumah, tanpa harus dibebani rasa bersalah dan sederet urusan domestik, karena suami siap untuk mengambil alih peran itu.

 “Pasangan muda sekarang tidak gampang menyerah bila menghadapi masalah. Sulit mencari asisten rumah tangga ataupun babysitter yang dipercaya? Mereka cari solusi. Antara lain, melakukan semacam restrukturisasi, agar segalanya lebih efisien,” kata Ratih. Mereka pun berbagi peran dengan fair. Bila si istri lebih cocok bekerja penuh waktu dan memiliki prospek karier cemerlang, mengapa tidak maju terus?

Kehidupan telah banyak berubah, kebiasaan telah berganti dan tatanan mulai bergeser, kalau dulu pemimpin rumah tangga: istri dan anak-anak adalah suami atau bapak, termasuk apa yang menjadi tuntutannya berupa tanggung jawab memberi nafkah, ini berarti bahwa suami atau bapak yang bekerja, di saat yang sama istri atau ibu sebagai penyeimbang dan pengisi kekosongan lahan yang ditinggalkan oleh suami atau bapak, mengurusi rumah dan anak-anak, maka dia disebut dengan ibu rumah tangga.

Tetapi itu dulu, saat kehidupan zaman ini mulai bergeser akibat dominasi adat dan pengaruh bangsa lain, saat peluang mendapatkan pekerjaan di luar rumah mulai dibuka untuk kaum hawa, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tersedot magnet mendapatkan gaji sendiri sehingga tidak meminta dan bergantung kepada suami, resikonya pos aslinya yaitu dalam negeri rumah tangga kosong karena ditinggal oleh sang penunggunya.

Dunia kerja semakin membuka peluang lebar-lebar bagi kaum wanita, kesempatan berkarir bagi mereka semakin memungkinkan, di pos-pos penting duduk kaum perempuan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki, hal ini menyeret kepada kesetaraan antara suami dan istri dalam hal penghasilan, dan selanjutnya istri pun bisa karena dorongan sendiri atau dari suami, ikut memikul tanggung jawab finansial keluarga, ini artinya suami telah memberikan sepenggal dari kue kepemimpinannya dalam rumah tangga kepada istri atau istri yang mengambilnya dari tangan suami, lumrah memang, karena pemikul tanggung jawab memiliki wewenang sebesar tanggung jawab tersebut.

Perkaranya tidak berhenti sampai di sini, dunia kerja terus berkembang dan membuka kesempatan bagi kaum hawa lebih lebar, akibatnya tidak tertutup kemungkinan sekalipun sama-sama berkerja, kedudukan, karier dan tentu saja penghasilan istri lebih besar dari suami, bila hal ini tidak berdampak terhadap hubungan dan kedudukan masing-masing dalam rumah tangga, maka mudah-mudahan tidak memicu konflik sehingga rumah tangga aman-aman saja, namun yang sering terjadi adalah saat uang istri lebih banyak, maka dia pun mulai mendominasi, biasa uang memang berkuasa, maka suami tergeser dari kursi qiwamah, atau dia tahu diri sehingga mundur dan menyerahkan kebanyakan darinya kepada istri, kalaupun suami tetap menjadi pimpinan, maka biasanya hanya sekedar formalitas saja.

Lebih parah lagi manakala yang berpenghasilan adalah istri, sedangkan suami nganggur alias tidak bekerja, dan betapa banyak rumah tangga seperti ini di zaman ini, akibatnya kepemimpinan mutlak dipegang oleh istri sebagai penafkah keluarga berikut segala hal yang menjadi buntutnya, akhirnya suami hanya berposisi sebagai seksi sibuk di belakang, mengurusi rumah tangga dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka lahirlah sebuah nama untuknya sebagaimana dalam judul tulisan ini. Sebuah keadaan rumah tangga yang tidak diharapkan karena ia jauh dari titik ideal, namun bagaimana bila kedua belah pihak merasa nyaman dengan peran terbalik seperti itu? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar